Hari ini :
You are not log in? >> Please Login

featured-video


featured-content2


featured-content2

featured-content2

featured-content2

salam

anda sedang mengunjungi blog pribadi milik Hamah Sagrim. silahkan bergabung bersama dalam linknya

Text

Pengikut

About

Foto Saya
HAMAH SAGRIM AKUT HARIEN MARA
I KNOW GOD WILL MAKE ME A WAY
Lihat profil lengkapku

NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL DALAM PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN


NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL DALAM PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN
OPINI
By
Hamah Sagrim
(Peneliti)
Dinegara berkembang, sejak dahulu masyarakatnya mempunyai apresiasi tinggi terhadap arsitektur. Berbagai tulisan, buku hasil kajian ilmiah, penelitian tentang arsitektur banyak sekali ditulis, diterbitkan, dibaca, dan aliran-alirannya diwujudkan dalam gaya bangunan sebagai kebesaran identitas mereka, tidak hanya oleh para arsitek, tetapi oleh kalangan luas dan herbage lapisan masyarakat. Disbanding dengan daerah lain, propinsi papua yang juga memiliki gaya arsitektur cukup khas yang mana bisa diangkat sebagai kebesaran dan kejayaan bagi orang papua sangat dilupakan.
Pada bagian ini saya coba mengkaji keberhasilan, kesalahan dan kekurangan yang dilakukan guna mengangkat arsitektur tradisional papua dalam perkembangan pembangunan. Menjadi pelajaran saat ini dan waktu akan dating bahwa pembangunan yang telah dikembangkan sekarnag tidak mengerti kebudayaan dan tidak mencerminkan kepribadian budaya setempat serta tidak begitu mempertahankan identitas arsitektur setiap daerah di papua. Salah satu tolok ukur kemajuan budaya sebuah daerah dilihat dari aliran aristektur yang mana tampil dalam wajah dan fisik bangunan. Kecenderungan masyarakat dan pemerintah dalam mengadopsi gaya – gaya arsitektur luar seperti gaya arsitektur colonial, gaya arsitektur romawi, gaya arsitektur joglo, gaya arsitektur minang, dan.y.l. hal ini membuat arsitektur tradisional setiap suku bangsa di papua terlupakan. Ini merupakan suatu penjajahan kultur yang menindas budaya papua. Dengan semakin dilupakannya aliran – aliran arsitektur tradisional papua, maka ikut pula menghilang kebesaran citra, karsa, dan karya orang papua, karena sebagaimana dalam ungkapan bahasa semboyang arsitektur mengatakan bahwa; “arsitektur adalah gambaran jiwa raga dan roh seseorang”, inilah kebesaran yang terlupakan.
Dengan demikian, ditekankan bahwa dalam mendisain pembangunan papua yang hormat budaya, maka diharuskan untuk mengangkat dan mengikutsertakan aliran arsitektur tradisional dalam mendirikan sebuah bangunan, kalaupun masyarakat tidak mengembangkannya, sebisamungkin gedung-gedung pemerintah tiap daerah wajib mengambil gaya dan corak arsitektur tradisional daerah setempat.
Beberapa bentuk arsitektur tradisional papua yang cukup unik dan menggambarkan kebesaran orang papua seperti; bentuk bangunan rumah Honai, rumah tradisional Enjros tobati, rumah tradisional arfak, dan rumah tradisional harit di maybrat imian sawiat kabupaten sorong selatan. Suatu ungkapan kekesalan kini adalah bahwa daerah-daerah propinsi papua yang memiliki gaya arsitekturnya sendiri ini begitu didominasi oleh bangunan – bangunan dari daerah lain. Hal ini disebabkan karena pemerintah Hindia Belanda lebih awal membangun papua dengan menerapkan aliran arsitektur colonial, sebagaimana hingga saat ini difungsikan sebagai gedung atau perkantoran-perkantoran pemerintah daerah bahkan ada yang dijadikan sebagai rumah hunian masyarakat. Suatu pembunuhan karakter budaya arsitektur papua yang telah dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda di daerah propinsi papua. Dikabupaten Sorong Selatan, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1950, secara brutal membongkar rumah-rumah tradisional yang dibangun oleh orang maybrt imian sawiat sebagai bangunan terhormat seperti rumah sekolah dan gereja (samu k’wiyon-bol wofle), dengan menerapkan larangan-larangan untuk tidak mengembangkan atau membangu bangunan-banguan tersebut kembali. Hal ini membuat orang maybrat imian sawiat kini kehilangan gaya dan aliran arsitektural mereka. Disisilain, pada tahun 1962, pemerintahan indoneisa telah masuk kewilayah papua, yang mana pada waktu itu disebut Irian Jaya dan menetap hingga sekarang dengan penerapan bangunan yang juga tidak mempedulikan aliran arsitektur lokal. Kini aliran arsitektur dari daerah lain yang mendominasi wajah perkotaan di seluruh papua. Persoalannya bukanlah terletak pada kurangnya tenaga-tenaga arsitektur papua, tetapi keinginan daripada pemilik yang mana cenderung menginginkan gaya arsitektur lain ketimbang tidak menyadari akan gaya arsitekturnya yang tampak sederhana, berbobot, bergaya sendiri, dengan segala macam nilai yang terkandung didalamnya.
Tampak jelas ketika kita berada diberbagai daerah; kabupaten sorong contohnya, gaya arsitektur yang mendominasi diwilayah pesisir sungai remu adalah gaya arsitektur bajo suku bugis, begitupun yang terdapat di pesisir pantai tehit, gaya arsitektur yang tampak mendominasi adalah arsitektur tradisional Bajo, orang bugis. Di jayapura, kini didominasi oleh arsitektur Asia, colonial, dan disisipi dengan gaya arsitektur minang. Dimanokwari, arsitektur arfak juga terlupakan dan kini wajah kota manokwari didominasi oleh aliran arsitektur colonial, asia dan disisipi oleh aliran arsitektur minang. Didaerah wamena yang gaya arsitektur tradisionalnya yang begitu terkenal di dunia (honai), masih juga tidak begitu diperhatikan, wajah kotanyapu masih terlihat hamparan wajah arsitektur pendatang semua. Merupakan salah satu pengikisan budaya bangsa.
Arsitektur tradisional setiap daerah di propinsi papua merupakan kebesaran setiap suku bangsa tersebut, karena merupakan hasil ciptaan mereka yang sebenarnya. Proses akulturasi terhadap gaya arsitektur ini membuat orang papua semakin ditelanjangi dengan cara yang dipergunakan oleh penjajah. Dalam refleksi arsitektur tradisional papua yang telah kami analisis, merupakan suatu cara penjajahan terhadap budaya. Selain budaya-budaya lain dibuang, disisi yang lain kekayaan budaya dicuri serta diperdagangkan seperti ukiran, tarian dan corank budaya unik lainnya. Suatu kesimpulan daripada refleksi budaya papua “bahwa orang papua dulu sebelum penjajahan, disini diibaratkan seperti seorang gadis manis yang sedang direbut oleh beberapa orang, setelah ia berhasil direbut, bukan karena cantiknya saja yang menjadi rebutan, tetapi segala perhiasan yang dikenakan disekujur tubuhnya diambil oleh orang yang merebutnya setelah itu itu busana yang dikenakannyapun dilepaskan satupersatu dan dibuang, kini seorang nona cantik menjadi kehilangan harga dirinya karena semua yang ada padanya sebagai kebesaran telah hilang dan kini dia telanjang sampai-sampai mahkotanya turut diambil, tetapi bersyukur karena ia masih hidup. Walaupun ia masih hidup, dan ia mampu menciptakan busana yang baru, tetapi tidak semuanya dari bahan yang ia miliki tetapi dari bahan-bahan punya orang yang diambil dalam membuat busananya, karena semuanya serba palsu maka nilai dirinya kini berkurang”.
Suatu penjajahan terhadap arsitektur-arsitektur papua yang sedang berlangsung. Semangat pembangunan yang ditunjukkan adalah semangat yang kami sebut egoisme membangun. Kata egoisme membangun disini saya gunakan karena konsep pembangunannya tidak menghargai apa yang disebut dengan potensi lokal (local potences), konsep pembangunannya begitu tertutup (closely building concept), memikirkan dirinya sendiri (egoism), walaupun ia berada di wilayah kekuasaan budaya lain, akan tetapi tetap menggunakan konsep budaya asing untuk diterapkan. Inilah sesuatu penjajahan budaya yang sedang diterapkan di propinsi papua, yang mana secara sinergis sedang mengikis selain arsitektur, budaya-budaya lainpun ikut terkikis. Arsitektur bagi sejarah manusia merupakan sebuah karya besar dan termasyhur yang pernah dibuat oleh nenekmoyang setiap sukubangsa didunia. Sedangkan bumi sendiri merupakan rumah yang dirancang dan dibangun oleh Tuhan, dan tak ada seorangpun yang mampu menciptakan planet bumi yang lain menyaingi atau melampaui yang diciptakan oleh Tuhan, begitupun ciptaan setiap suku bangsa tidak mungkin sama dan tidak seorang sukubangsapun yang berhak untuk menghilangkanm ciptaan orang lain. Sejarah perkembangan arsitektur suku bangsa di propinsi papua mencakup dimensi ruang dan waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya. Olehkarena itu dalam konsep pembangunan di propinsi papua, seharusnya dikonsepsikan sesuai dengan aliran arsitektur lokal yang ada disetiap daerah yang mendasar pada jenis bangunan dan terkait dengan fungsinya. Dikatakan demikian karena daerah-daerah di propinsi papua dengan konsep dan gaya aliran arsitekturnya selalu mempunyai aturan, makna dan fungsi yaitu; rumah suci, Rumah berkumpul, Rumah hunian, Rumah pendidikan. Sebenarnya Tidak begitu sulit dalam mengembangkan konsep pembangunan sekarang dengan menggunakan aliran arsitektur lokal.
B.3.c. Keberhasilan Penerapan Konsep Arsitektur Tradisional Dalam Pembangunan Papua
Suatu keberhasilan konsep arsitektur tradisional papua yang menonjol kerapkali hanya terlihat pada Gapura, ukiran-ukiran dan lukisan dinding. Untuk konsep arsitektur dalam gaya bangunan tidak begitu ditonjolkan atau samasekali tidak dipake dalam konsep pembangunan, walaupun beberapa daerah mampu manampilkan gaya arsitektur mereka seperti gaya arsitektur Enjros sentani yang dikembangkan di kota jayapura, dan honai wamena yang juga dikembangkan di kabupaten wamena, namun tetapi belum sepenuhnya mencapai 100%. Sedangkan didaerah kabupaten lain seperti kabupaten sorong selatan tidak pernah menampilkan gaya arsitektur harit, dan kabupaten manokwari dengan gaya arsitektur arfaknya tidak terlihat wajahnya di dalam konsep pembangunan.
Di Wamena dan Jayapura telah berhasil dengan menampilkan wujud arsitektur tradisionalnya Karena ada kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung. Sedang didaerah lainnya, kecenderungan dengan prinsip egoisme pembangunan dengan gaya moderen sangat mendominasi, akhirnya nilai-nilai yang ada didaerah setempat terlupakan dan hilang dengan sendirinya.
Bila dipandang dari konsep arsitekturnya, papua akan dikatakan sebagai daerah dengan keberhasilan membangun sendiri jikalau konsep aliran arsitektur yang dipakai dalam pembangunan dengan menggunakan konsep arsitektur tradisional. Karena disinilah papua akan terkenal dengan kebhinekaan gaya arsitektur tradisionalnya, papua akan disebut sebgai sebuah bangsa yang berjaya yang mana kejayaannya ditunjukkan melalui aliran-aliran arsitekturalnya.
B.3.d. Ketidak berhasilan Konsep Pembangunan Tanpa Arsitektur Tradisional
Bilamana kita berbicara mengenai konsep, maka kita berbicara tentang arah, kebijakan, cara, metode, yang ditampilkan dalam mengembangkan sesuatu ide yang dikonsepsikan. Berkaitan dengan konsep pembangunan, setiap manusia atau kelompok dan sukubangsa mempunyai metode atau konsepnya masing-masing dan berbeda, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang ada. Suatu kesalahan dalam konsepsi pembangunan yang seringkali ditemukan saat ini adalah, konsep pembangunan tanpa arsitektur lokal. Setiap suku bangsa di Papua mempunyai aliran atau gaya bangunan arsitekturalnya yang unik, akan tetapi seringkali ketika dalam konsep pembangunan, aliran arsitektur tradisional ini tidak diingat (terlupakan) atau tidak dimunculkan dalam proses pembangunan. Padahal ketika kita berbicara mengenai arsitektur tradisional, kita telah berbicara tentang suatu jatidiri, idealisme, citra, rasa, karya, karsa suatu bangsa karena arsitektur tradisional adalah bagian dari kebudayaan manusia, berkaitan dengan berbagai segi kehidupan seperti; seni, teknik, ruang/tata ruang, religi.
Perkembangan konsep pembangunan daerah saat ini cenderung mengesampingkan gaya arsitektur lokal (setempat) yang bila dikembangkan, mampu mengangkat kebesaran nama suatu daerah yang akan dikenal dan berjaya. Misalnya arsitektur Joglo, arsitektur Honai, arsitektur colonial, arsitektur bizantum, arsitektur minang, arsitketur fengsui, arsitektur halit-mbol chalit, sudah ada di wilayahnya masing-masing sejak zaman keberadaan nenek moyangnya, dan berkembang bersama-sama dalam kehidupan mereka.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga arsitektur tradiaionl menjadi terlupakan adalah:
1. pengaruh aliran arsitektur luar dengan gaya, estetika dan bentuk yang moderen.
2. keinginan pemilik bangunan rumah yang cenderung menginginkan bentuk arsitektur model aliran lain.
3. Pemerintah setempat tidak fasih dalam mengembangkan suatu konsep pembangunan dengan menggali kearifan lokal, sehingga arsitektur tradisional tidak dapat diperhatikan.
4. Tenaga perancang dan ahli-ahli arsitektur yang tidak jeli dalam mengangkat aliran arsitektur tradisional untuk menterjemahkannya dalam bentuk moderen, sehingga arsitektur lokal tetap tersembunyi/hanya dalam bayang-bayang tradisional saja.
Read On 0 komentar

Bentuk Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat yang mempengaruhi kenyamanan thermal dalam bangunan


Bentuk Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat yang mempengaruhi kenyamanan thermal dalam bangunan


By

Hamah Sagrim

(Peneliti)


Rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat pada dasarnya adalah merupakan bangunan tradisional dan sistem bentuk / tampilannya telah diatur dalam suatu kaidah yang dikenal dengan budaya Appabolang.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada enam rumah tradisional maybrat imian sawiat, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk arsitektur rumah Maybrat Imian Sawiat turut mempengaruhi kenyamanan thermal dalam bangunan, walupun sebenarnya pemikiran mengenai kenyamanan lebih banyak merupakan suatu unsur sampingan yang timbul secara tidak sengaja dari konsep penyesuaian diri terhadap kerasnya suhu di wilayah Maybrat Imian Sawiat dalam menciptakan kenyamanan thermal pada ruang dalam bangunan. Selanjutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Lokasi

Lokasi yang diperoleh suku Maybrat Imian Sawiat dalam mendirikan rumahnya adalah mengikuti alur perbukitan, jalur jalan dan aliran sungai bagi yang di dataran gunung, sedangkan daerah pesisir memilih mengikuti garis pantai dan terpancar dengan pola perletakan di darat, diperalihan darat dan perairan serta diperariran laut.

Ketiga lokasi pengelompokan hunian tersebut masih berada diwilayah yang berhubungan langsung dengan hutan dan pesisir pantai, sehingga masih sangat dipengaruhi oleh angin kencang, kelembaban yang tinggi, korosi, dan pasang surut laut khususnya untuk rumah yang berdiri diatas perairan laut dan peralihan darat serta perairan.

b. Orientasi

Orientasi bangunan hunian di wilayah permukiman suku Maybrat Imian Sawiat merupakan penjewantahan dan hal – hal yang mendorong bersifat ancaman dan mistis. Fasade rumah harus menghadap jalan (sarana penghubung/kontrak sosial) sebagai tanda kehormatan dan kesopanan, begitu pula pada rumah yang berhubungan dengan laut, fasade harus menghadap ke laut sebagai keselamatan.

Unsur iklim seperti arah angin dan posisi lintasan matahari tidak menjadi pertimbangan. Dari hasil analisis, Rumah Tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat yang berada pada orientasi timur – barat, sangat menguntungkan karena sisi yang paling banyak kena sinar matahari adalah sisi pendek bangunan. Pergerakan angin dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin karena sisi tinggi bangunan tegak lurus dengan arah angin. Orientasi ini secara tidak disadari turut mewujudkan kenyamanan thermal yang diperlukan. Sedangkan untuk rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat yang berorientasi utara – selatan, sisi yang paling banyak terkena sinar matahari adalah sisi panjang. Hal ini tentunya kurang menguntungkan karena dapat menjadi sumbangan panas dalam bangunan.

c. Bentuk dan Denah

Suku Maybrat Imian Sawiat dalam menentukan ukuran / dimensi bangunan, menggunakan teori kira – kira, kadang menggunakan ukuran tubuh manusia (jengkal), namun untuk ukuran tinggi bangunan biasanya disesuaikan dengan ukuran panjang pendeknya bahan konstruksi.

Bentuk denah yang tercipta dari ukuran – ukuran tersebut adalah suatu bentuk dengan yang bersegi empat pipih, sehingga memungkinkan untuk diterapkan system cross ventilase dan pemanfaatan cahaya matahari sebagai pencahayaan alami, serta pembuangan kepulan asap. Rumah dengan bentuk denah seperti ini cocok untuk daerah yang beriklim lembab.

Rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat berbentuk rumah panggung yang memiliki kaki, badan dan kepala sebagai konsekwensi dari aturan budaya Appabolang. Kaki harus ditinggikan dari permukaan tanah karena kondisi memungkinkan untuk mengantisipasi pengaruh eksternal yang terjadi. Kaki/tiang dilengkapi dengan palang /penyangga (katar) supaya tiang tidak cepat rusak/lapuk apabila bersentuhan dengan tanah. Badan rumah sebagai penghidupan sejati yang harus dilindungi dari alam luar yang jahat, sehingga ditempatkan di posisi tengah. Hal ini tentu saja untuk melindungi ruang – ruang aktivitas keluarga dari radiasi matahari, angin kencang, hujan dan pasang surut air laut. Kepala / atap, harus ditinggikan yaitu tidak boleh kurang dari manusia. Kondisi ini tentu bermanfaat untuk menetralisir suhu panas yang ada didalam ruang.

d. Atap dan Dinding

Atap bagi suku Maybrat Imian Sawiat berfungsi untuk melindungi bangunan dari panas matahari dan kebasahan hujan.

Dinding sebagai kulit bangunan yang senagtiasa harus manjadi pelindung terhadap radiasi matahari, hempasan air hujan, kelembaban dan angina kencang dari luar. Pada rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat dengan penggunaan dinding bangunan dari kulit kayu, gaba – gaba, papan kayu, diketahui mempunyai time lag kecil, sehingga panas yang ada langsung diterima dan dipancarkan untuk itu dinding banguan harus senangtiasa terbayangi/terlindungi dari sinar matahari langsung.

e. Overstek / Pelindung

Rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat rata – rata tidak menggunakan overstek, padahal untuk rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat, overstek atau pelindung sangat dibutuhkan setiap sisi bangunan untuk melindungi dinding terutama dari sinar matahari langsung, mengingat bahan dinding yang digunakan dari papan kayu, kulit kayu, dan gaba – gaba dengan time lag yang kecil.

f. Material dan Warna

Pemilihan material atap pada rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat rata – rata menggunakan atap daun sagu, daun rumbino dan seng. Penggunaan daun sangat baik untuk merendam pengaruh radiasi matahari karena tidak menyerap panas, bahkan mempunyai pengudaraan yang baik. Atap daun dapat merefleksikan panas antara 20% - 23% sedangkan kekurangan penggunaan atap daun mengakibatkan kemudahan untuk terserang hama dan serangga. Namun pada daerah pesisir pantai Tehit, Sorong Selatan, yang memiliki kadar garam tinggi, hama atau serangga perusak tidak dapat berkembang sehingga atap daun sangat menguntungkan terutama untuk mengusir kelembaban dan mengurangi panas yang ada dalam ruang.

Disisi lain, pengguna atap seng di daerah pantai kurang tepat karena kadar garam yang tinggi dapat menyebabkan korosi, sehingga atap seng mudah rusak. Penggunaan atap seng bagi suku Maybrat, Imian, Sawiat, disamping karena pertimbangan konstruksi yang ringan, juga terhadap kebiasaan menampung air hujan untuk keperluan sehari-hari. Air hujan dari cucuran atap seng lebih jernih dan lebih bersih dibanding atap daun. Atap seng dapat merefleksi 90% - 70% akibat radiasi matahari. Pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, atap seng rata-rata tidak diberi warna. Dengan demikian maka atap seng cepat merefleksi panas sekitar 45% - 25% sehingga terasa cepat panas, yang mengakibatkan pengaruh pada kondisi konfort di dalam ruangan. Untuk itu dapat diantisipasi dengan pemasangan plafond dan bukaan jendela yang cukup. Disamping itu, bahwa atap seng mudah terjadi kondensasi khususnya dipagi hari. Untuk itu, konstruksi kayu yang ada dibawah harus terlindungi benar dari kelembaban. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian cat atau ter dan harus bisa bernafas artinya hawa udara senantiasa mengalir berputar dibawahnya. Pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dapat dikataka telah merespons terhadap kondisi ini.

Sedangkan untuk elemen bangunan lain umumnya menggunakan material dari Kayu sebagai struktur dan tali sebagai pengikat. Material kayu diketahui mempunyai kemampuan pemantulan sekitar 60% - 40%.

g. Pola Penataan Hunian.

Pola penataan hunian dipermukaan wilayah hunian Maybrat, Imian, Sawiat, ini mengikuti lereng perbukitan bagi wilayah perbukitan, dan mengikuti pesisir pantai bagi wilayah pesisir atau ini bisa dikatakan bahwa masih semrawut dan tidak teratur. Tentusaja kondisi ini dapat mempengaruhi tinggi rendahnya temperatur lingkungannya.

Pada rumah halit yang diteliti, setiap rumah di wilayah pegunungan lereng, tidak memperhatikan jarak ruamah antara satu dengan yang lain tetapi bergantung pada pemilihan lokasi, karena dipengaruhi oleh lereng, bukit dan tebing sehingga lokasi sebagai ukuran utama penempatan bangunan. Sedangkan di wilayah pesisir pantai, memperhatikan perbandingan yang seimbang antara luas lahan dan luas bangunan. Hal ini tentunya dapat menjadi pendukung yang baik untuk mengontrol arah angin dan memanfaatkannya untuk mengusir kelembaban dan panas dalam ruang.

Read On 0 komentar

PENGARUH IKLIM TERHADAP KENYAMANAN THERMAL DALAM RUANG RUMAH TRADISIONAL SUKU MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA HALIT-MBOL CHALIT


PENGARUH IKLIM TERHADAP KENYAMANAN THERMAL DALAM RUANG RUMAH TRADISIONAL SUKU MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA

HALIT-MBOL CHALIT

By

Hamah Sagrim

"peneliti"



Berdasarkan analisis dari hasil pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan hunian suku Maybrat, Imian, Sawiat, beserta lingkungan dan budayanya telah dapat merespon terhadap pengaruh iklim tropis untuk mencapai kenyamanan thermal dalam bangunannya sebagai berikut:

a. Pengaruh Sinar Matahari

Untuk menghindari sinar matahari langsung masuk ke dalam bangunan, maka dianjurkan untuk memakai pelindung dari atap dan dinding. Namun dari hasil analisis dengan menggunakan susunan path diagram, kulit yang ada belum cukup untuk melindungi kulit bangunan dari sinar radiasi matahari. Sehingga masih membutuhkan pematah sinar matahari dengan panjang tentunya. Sedangkan pemanfaatan cahaya matahari untuk pencahayaan alami pada tiap rumah halit, hampir seluruhnya berfungsi dengan ketentuan bahwa setiap ruang yang ada harus diberi lubang 2m-2,8m lubang bukaan/jendela. Sementara dindingnya dari bahan kayu, dan kulit kayu, yang mempunyai celah. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang sisi bangunannya berorientasi pada utara selatan, pemanfaatan cahaya alaminya memenuhi persyaratan besar intensitas cahaya yang dianjurkan. Sedangkan rumah yang sisi panjang bangunannya berorientasi timur barat, pada jam 12.00 dan jam 14.00 nilai intensitas cahayanya berada diatas ambang persyaratan maksimal. Jadi pada jam-jam ini terjadi discomfort.

b. Pengaruh Temperatur Udara.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa rentang temperatur yang terjadi pada rumah di daratan dan di peralihan, rata-rata tinggi. Sedangkan rumah perairan laut menunjukkan kondisi temperatur yang berkisar sedang ke rendah. Hal ini disebabkan karena dibidang daratan lebih panas dua kali lebih cepat dari pada bidang air pada luas yang sama, dan bidang air kehilangan sebagian energi panasnya karena penguapan. Disamping itu pola peletakan hunian diperalihan yang cenderung padat tidak teratur menjadi penghambat aliran angin untuk mencapai jendela/bukaan, sehingga perannya untuk menurunkan temperatur udara sangat kecil.

c. Pengaruh Hujan dan Kelembaban

Terhadap pengaruh hujan diatasi dengan pembentukan atap yang memadai. Hal ini tentunya untuk mempercepat turunnya air hujan dari atap supaya tidak merembes masuk kedalam rumah, disampin untuk ditampung sebagai persediaan air bersih sehari-hari (khsus wilayah pesisir laut). Namun pada hunian perkampungan di Maybrat, Imian, Sawiat, umumnya dibangun dengan bentuk atap pelana dengan sudut jatuh suram menutupi sebagian badan/dinding rumah sehingga pengaruh hempasan hujan untuk menembus dinding dapat terlindungi.

d. Pengaruh Pergerakan Udara

Kecepatan gerak udara sangat penting dalam usaha menciptakan suatu nilai kenyamanan. Bila dilihat dari bentuknya maka perlu ditambahkan bukaan/jendela disetiap rumah hunian suku Maybrat, Imian, Sawiat, sehingga cukup memenuhi kriteria kenyamanan, karena dengan bukaan yang ada bisa memanfaatkan udara sebagai penghawaan alami. Namun pemanfaatan aliran angin melalui penempatan bukaan pada posisi yang tepat, belum seluruhnya tercapai pada setiap rumah pesisir untuk kecepatan angin 0,1m/det dengan arah angin miring terhadap lubang, bila bukaannya miring maka belum memenuhi persyaratan, untuk kegiatan keluarga. Hal ini disebabkan karena perletakannya berada pada daerah peralihan daratan dan perairan. Pergerakan udara didaerah peralihan daratan dan perairan ini diketahui rata-rata 2-3, 1 km/jam. Sedangkan untuk didaratan/pegunungan, pergerakan udara rata-rata 3,1 km/jam dan untuk diperairan laut rata-rata 5.3 km/jam. Kecepatan udara diperalihan relatif kecil karena pola perletakan huniannya cenderung pada dan tidak teratur, sehingga pergerakan udara terhalang ke bangunan.

e. Kenyamanan Thermal Rumah Halit

Kondisi udara yang dirasakan nyaan mempunyai kombinasi dan temperatur kelembaban, dan kecepatan angin. Kondisi tiap rumah Halit dalam sehari berada pada kondisi nyaman optimal menurut kekondisian hangat kondisi nyaman optimal pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dapat disimpulkan berdasarkan pola perletakan hunian sebagai berikut.

· Untuk perletakan hunian di daratan gunung. Kondisi kenyamanan optimal rata-rata terjadi pada jam 18.00 – 08.00 pagi. Sedangkan pada jam 10.00 – 16.00 sore beradadalam kondisi hangat.

· Untuk perletakan hunian di peralihan darat dan perairan laut. Kondisi nyaman optimal rata-rata hanya terjadi pada jam 01.00 – 16.00 sore berada dalam kondisi hangat.

· Untuk perletakan hunian di perairan laut pada jam 18.00 – 08.00 pagi. Sedangkan pada jam 10.00 – 16.00 sore berada dalam kondisi hangat.

Kondisi kenyaanan didarat dan diperairan laut sebenarnya kurang lebih hampir sama. Hal ini disebabkan karena kelembaban di perairan laut lebih tinggi daripada didarat. Sedangkan rentang temperatur berlaku sebaliknya, sehingga kondisi yang ditunjukkan dalam diagram olgyay berada dalam kondisi tidak nyaman dan masih perlu ditoeransi dengan tambahan angin sekitar 0,5 – 1,5 m/det. Sedangkan untuk hunian yang berada di peralihan darat dan perairan laut masih membutuhkan tambahan angin sekitar 1,5-1,3 m/det.

Read On 0 komentar

KESIMPULAN PENGARUH SINAR MATAHARI DALAM MEMPENGARUHI KENYAMANAN THERMAL RUMAH TRADISIONAL SUKU MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA "HALIT-MBOL CHALIT"


KESIMPULAN PENGARUH SINAR MATAHARI DALAM MEMPENGARUHI KENYAMANAN THERMAL RUMAH TRADISIONAL SUKU MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA

"HALIT-MBOL CHALIT"

By

Hamah Sagrim

(Peneliti)

Untuk menghindari sinar matahari langsung masuk ke dalam bangunan, maka dianjurkan untuk memakai pelindung dari atap dan dinding. Namun dari hasil analisis dengan menggunakan susunan path diagram, kulit yang ada belum cukup untuk melindungi kulit bangunan dari sinar radiasi matahari. Sehingga masih membutuhkan pematah sinar matahari dengan panjang tentunya. Sedangkan pemanfaatan cahaya matahari untuk pencahayaan alami pada tiap rumah halit, hampir seluruhnya berfungsi dengan ketentuan bahwa setiap ruang yang ada harus diberi lubang 2m-2,8m lubang bukaan/jendela. Sementara dindingnya dari bahan kayu, dan kulit kayu, yang mempunyai celah. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang sisi bangunannya berorientasi pada utara selatan, pemanfaatan cahaya alaminya memenuhi persyaratan besar intensitas cahaya yang dianjurkan. Sedangkan rumah yang sisi panjang bangunannya berorientasi timur barat, pada jam 12.00 dan jam 14.00 nilai intensitas cahayanya berada diatas ambang persyaratan maksimal. Jadi pada jam-jam ini terjadi discomfort.

Read On 0 komentar

Followers

 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2008