SUMBANGAN ANTROPOLOGI DALAM PENDAMPINGAN PASTORAL INISIASI WIYON-WOFLE



2010 Copyright Institut Leimena


2010 Copyright Institut Leimena


2010 Copyright Institut Leimena

SUMBANGAN ANTROPOLOGI DALAM PENDAMPINGAN PASTORAL INISIASI WIYON-WOFLE


oleh

Hamah Sagrim

A. Perspektif




Aktivitas wiyon-wofle dipandang sebagai proses pendampingn pastoral (mber, me wtum), yang mana berarti dipandang secara sederhana sebagai pendekatan yang efektif dalam melayani murid (wiyon tna ini bisa). Dalam arti yang lebih operatif, diistilahkan sebagai salah satu pola ‘pendampingan atau bimbingan’, sebagai suatu kegiatan menolong para wiyon tna sebagai murid yang karena suatu sebab perlu didampingi oleh ‘pendamping’ atau raa wiyon-na wofle.

Pandangan ini dilihat sebagai suatu interaksi sejajar atau relasi timbal-balik, dalam arti itu kegiatan pendampingan memiliki makna kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, membagi dan berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan.

Relasi sejajar itu menempatkan pendamping (raa wiyon-na wofle) dan murid wiyon tna sebagai orang yang didampingi pada kedudukan yang seimbang dan timbal-balik. Dalam hal ini pendamping (raa wiyon-na wofle) mempunyai fasilitas lebih dari murid sebagai orang yang didampingi, yakni lebih sehat, mempunyai keterampilan, mengenal hal ikhwal tentang wiyon-wofle atau sebut saja sebagai nara sumber . Fasilitas ini dipakai sedemikian rupa, sehingga terjadi suatu interaksi timbal-balik dan sederajat, saling membagi dan menumbuhkan. Perspektif ini akhirnya menempatkan pendamping (raa wiyon-na wofle), sebagai orang yang melihat murid (wiyon tna) sebagai orang yang didampingi dalam perspektif yang lebih luas, tidak sebatas pada problem atau gejala saja, melainkan lebih dalam, yakni kepada manusia yang utuh: fisik, mental, dan rohaninya.

Kita akan rincikan beberapa bentuk defenisi penggembalaan atau yang disebut dalam bahasa mereka (aken swya), yakni:

1. Pertama, pembinaan, yaitu tugas raa wiyon-na wofle adalah membentuk watak seorang murid (wiyon tna) dan mendidik mereka untuk menjadi murid yang baik,

2. Kedua, pemberitaan Firman Allah (watum, vito, safo, bo snyuk), melalui pertemuan antar-pribadi atau dalam kelompok kecil, di dalam kemah (k’wiyon-mbol wofle). Dalam aktivitas inisiasi wiyon-wofle ini tidak ada sistem khotbah. Hal ini berarti bahwa dalam pertemuan sudah pasti pengetahuan wiyon-wofle atau “injil harus dibicarakan dengan menggunakan pola penasehatan dan bimbingan sehingga murid (wiyon tna) dapat dibimbing dan disadarkan.

3. Ketiga, pelayanan yang berhubungan dengan sakramen (wiyon-wofle).

4. Keempat, pelayanan penyembuhan, yaitu pelayanan rohani yang mengakibatkan penyembuhan fisik, mengusir roh jahat, menghentikan hujan, memerintahkan air menjadi kering dll (tgif bo).

5. Kelima, pelayanan kepada masyarakat, yaitu pelayanan sosial dan pelayanan berjuang melawan ketidak bersahabanya alam ghaib dengan manusia.

6. Keenam, pelayanan di mana murid (wiyon tna) yang terlibat dalam kemah (k’wiyon-mbol wofle) untuk berinteraksi dengan menantikan dan menerima kehadiran dan partisipasi Tuhan Allah (oron yabi). Yang dinantikan sebenarnya adalah suatu penyataan dari Allah.

7. Ketujuh, konseling pastoral (maut aken) yang menggunakan teknik-teknik khusus yang dipinjam dari pengalaman sehari-hari manusia, khususnya psikologi yang sebenarnya kita sebut dengan (watum).

Dari situ, fungsi penggembalaan (inisiasi), sebagaimana tersebut maka diuraikan fungsi-fungsinya sebagai berikut:

1. Fungsi membimbing (sebagai suatu konseling yang mengarahkan “watum).

2. Fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan (konflik antar-pribadi, masalah iman).

3. Fungsi menopang/menyokong (dalam menolong mereka yang mengalami krisis kehidupan).

4. Fungsi menyembuhkan (orang berdukacita, yang dirasuki setan, yang diganggu oleh alam ghaib, yang terluka batinnya, dll)

5. Fungsi mengasuh (mendorong ke arah pengembangan, pertumbuhan secara holistik).

B. Pendampingan Pastoral Lintas-Budaya

Inisiasi wiyon-wofle begitu merasuk hingga telinga, hati dan ingatan orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, sehingga kebanyakan penginjil lokal seringkali bahkan selalu menggunakan pendekatan lintas budaya (wiyon-wofle sebagai lintasan buday yang digunakan) dalam konseling pastoral kepada jemaat. Menurut saya, mungkin melalui keterampilan dan kepekaan budaya yang ada, konselor menjadi lebih cenderung untuk memahami kata-kata pemikiran, dan perilaku dari seorang konseli dengan latar belakang budaya yang sama dikenalnya.

Demikian pula bahwa selain konselerasi penginjilan, konseling wiyon-wofle begitu mementingkan faktor filasafat hidup dan kepekaan/kesadaran yang diperlukan dalam konseling, sehingga kadang digunakan oleh penginjil lokal sebagai suatu pokok konseling lintas budaya dan garis besar etika konseling pastoral lintas budaya dengan dasar pengalaman dalam wiyon-wofle sebagai teologis. Ini dilakukan karena pemahaman yang luas tentang kompleksitas filsafat (bo flet, atau watum) yang begitu kompleks dalam hidup manusia dan pengaruh filsafat (bo flet atau watum) itu pada pemikiran pribadi-pribadi penginjil lokal sangat diperlukan dalam mendalami pendampingan dan konseling pastoral lintas budaya.

Mungkin pastoral lintas budaya dilakukan karena dengan demikian, penginjil lokal dapat mengerti pengalaman seseorang dengan latar belakang budaya mereka yang dimengerti bersama. Pendekatan pendampingan itu tergantung pada jawaban terhadap pertanyaan yang ada. Dan pertenyaan itu menjadi fokus hermeneutika dalam menganalisanya.

Di dalam pastoral lintas budaya yang dilakukan oleh penginjil-penginjil lokal Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, ini menjadi suatu aspek fungsi dari berbagai ritus dan upacara kebudayaan Maybrat, Imian, Sawiat, dan juga menjadi hal yang penting untuk dimaknai. Sebab di dalam semua itu terkandung struktur-struktur dasar perilaku manusia. Bilamana kita mengikuti antrpologi strukturalnya, aspek kebudayaan seperti wiyon-wofle dan kepribadian menjadi dua hal yang saling terkait. Dengan kata lain, sesuatu yang mencirikan kebudayaan membawa makna untuk pemilik kebudayaan-kebudayaan itu.

Menurut Van Beek, dalam pastoral lintas budaya, aspek kesadaran dan kemampuan perlu dimiliki oleh seorang pendamping. Tentang itu, ia merincikan beberapa tipe kesadaran dan keterampilan, yakni:

1. Kesadaran tentang tindakan fisik: cara kita mengarahkan badan kita mempengaruhi suasana percakapan. Misalnya, pada umumnya pendamping pria tidak diperkenankan berdiri atau duduk terlalu dekat dengan penderita wanita.

2. Kesadaran mengenai suara dan bahasa: seseorang yang sungguh-sungguh berada dalam keadaan sakit tidak senang dengan cara berbicara yang terlalu kuat atau keras atau gaya berbicara yang terlalu cepat.

3. Kesadaran mengenai topik-topik yang tepat dan kemampuan menanggapi secara cepat: ada topik yang dapat dibahas dalam satu kebudayaan yang tidak tepat dalam kebudayaan lain.

4. Kesadaran akan keterpaduan pengalaman penderita: pendamping lintas budaya perlu sadar bahwa penderitaan tidak meliputi satu aspek saja, tetapi banyak aspek dalam keseluruhan.

5. Kesadaran akan harapan penderita: pendamping perlu sadar bahwa ada harapan tertentu untuk proses pertolongan.

6. Kesadaran tentang kode-kode budaya. Seringkali kode-kode komunikasi budaya dapat dimengerti semua orang dan dimaksudkan untuk pribadi, kadang kode-kode menjadi misteri bagi orang dari kebudyaan yang lain.

7. Kesadaran mengenai bagaimana agama yang lain mempengaruhi pikiran penderita.

8. Kesadaran akan perbedaan pengalaman wanita dibandingkan dengan pengalaman pria dalam masyarakat, mengingat posisi pria yang lebih berkuasa.

9. Kesadaran mengenai pengertian kelas dan status sosial.

10. Kesadaran mengenai kuasa generasi: dalam kebudayaan tertentu kata-kata orang tua atau kepala adat atau orang-orang yang berkedudukan lain tidak boleh dilawan sama sekali sehingga dapat sangat membatasi peluang penderita untuk keluar dari situasi yang sulit.

11. Kemampuan hermeneutis

12. Keterampilan menganalisis/mendiagnose. Ini dilakukan dengan memperhatikan konsep diri (identitas) penderita, rasa memiliki (sense of belonging), dan filsafat/pandangan hidup (worldview).

13. Kemampuan integratif: pendamping perlu mampu menyusun teka-teki dari informasi analitis/diagnostik dengan informasi sosial, mental, fisik, dan spiritual lainnya.

14. Kemampuan metodologis dalam konseling yang mendalam: pendamping sebagai konselor perlu mampu menerapkan pendekatan konseling yang berfokus pada pola berpikir, emosi motivasi atau tingkah laku yang sesuai dengan harapan/kebutuhan, kepribadia, umur, kebudayaan, dan persoalan penderita.

Dalam pendekatan antropologi, upaya ini dimaksudkan untuk memahami polemik perspective yang melandasi suatu perilaku atau pemahaman masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, dalam lintas-buda mereka.

C. Etika Wiyon-Wofle dan Pendampingan Pastoral.

Persoalan etika wiyon-wofle dan pendampingan pastoralnya didasarkan atas dua pokok pikiran di dalam suatu situasi yang dialami di dalam kemah yang mana akan berlanjut ditengah kehidupan bermasyarakat yang sangat kompleks, yaitu masyarakat majemuk (plural).

Browning mengakui bahwa moderenitas yang dihasilkan oleh masyarakat memiliki dua kekuatan yang ambigiu. Modernitas menghasilkan nilai-nilai yang baik (the good), dan kisah sesuatu yang selalu menjadi masalah.

Pola pendampingan pastoral didalam inisiasi wiyon-wofle ini telah menjadi suatu disiplin tersendiri, terlepas dari ilmu lain yang sepadan seperti psikologi, rahasia dan makna wiyon-wofle, yang mana selalu diusahakan untuk membantu raa wiyon-na wofle dalam rupa-rupa pengalaman spiritual, mental dan psikologisnya.

Persoalan paling mendasar dalam perkembangan pendampingan pastoral inisiasi wiyon-wofle ini adalah merupakan etika keagamaan (safo wiyon-wofle). Hal ini yang mendorong kami untuk mencoba mengkaji sambil berusaha menjawab sejauhmana hubungan antara etika pada agama wiyon-wofle dan psikologi. Menurut kami, pertanyaan itu penting karena baginya para pemimpin wiyon-wofle (raa wiyon-na wofle dan raa bam-na tmah) bertanggungjawab untuk menjawab masalah konstruk etika wiyon-wofle secara universal sehingga bisa membantu murid (wiyon tna) memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya.

Dengan istilah lain, bagaimana pelayanan pendampingan inisiasi wiyon-wofle yang bersifat pastoral dalam mendidik, bisa membantu seorang murid (wiyon tna) dalam menangani masalah-masalah etika dan perilakunya. Hal ini menunjukkan bahwa peran raa wiyon-na wofle/raa bam-na tmah sebagai penginjil sangat penting dalam membantu para murid dalam menjalankan lakunya yang baik didalam kehidupan bermasyarakat. Dalam arti, kehidupan wiyon tna di masyarakat adalah hal yang penting diperhatikan. Pendampingan pastoral dalam arti itu bertujuan untuk mempersiapkan seorang wiyon tna untuk berperan dalam masyarakat.

Pendampingan inisiasi yang bersifat pastoral adalah suatu praktek yang kompleks. Layaknya setiap bentuk tindakan, pendampingan pastoral dilakukan melalui tahapan ‘reasoning’ dan ‘decision’ (identifikasi dan pengambilan keputusan) kepada seorang abdi wiyon-wofle. Sebagai suatu praktek keagamaan yang kompleks, pendampingan pastoral tidak bisa dijalankan melalui kebiasaan-kebiasaan inisiasi wiyon-wofle yang bersifat tertutup yang telah tertanam dalam budaya dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan yang moderen, demikian pun masyarakat plural, terdapat perbedaan institusional, sehingga tradisi pendampingan yang selama ini diterapkan juga menghadapi berbagai masalah, yang cenderung diganggu oleh aspek-aspek sosial di dalam perkembangan orang Maybrat, Imian, Sawiat itu sendiri.

Dalam kondisi itu, sebenarnya Kristen harus melakukan pendampingan semacam ini, mungkin diharapkan pula berlangsung melalui proses pengujian, analisis dan uji coba. Ketika kita menerapkan proses ini, kita bisa belajar mengenai bagaimana masalah-masalah yang kompleks itu ditangani. Di sini setiap pendeta dituntut memiliki keterampilan ‘practical thinking’ (logika praktis). Dalam logika praktis itu, perlu pula ‘moral thinking’; dalam kenyataannya, ‘moral thinking’ itu memiliki karakteristik khusus. Sebab dipercaya ada hubungan antara agama dan moralitas, dengan kata lain, perilaku agama adalah perilaku etika agama.

Dengan pernyataan ini maka dapat disimpulkan bahwa pendampingan pastoral di dalam inisiasi wiyon-wofle dan gereja atau di luar inisiasi wiyon-wofle dan di luar gereja sama-sama memerlukan bimbingan teologi moral (etika). Penegasan antara pendampingan wiyon-wofle dan gereja seperti ini bahwa kedua pendampingan antar wiyon-wofle dan injil kedua-duanya mensepakati bahwa pendampingan dalam gereja atau k’wiyon-mbol wofle sama-sama memiliki hubungan dan dibangun di atas dasar etika. Dalam kerangka ini, dapat terlihat jelas bahwa teologi moral baik tradisional maupun moderen sama-sama mendapat tempat pertama secara kritis dan filosofis.

Walaupun demikian, pendampingan pastoral tidak mesti melepaskan kaitannya dengan psikologi, Karena Pendampingan pastoral perlu dilihat sebagai suatu proses mendapatkan gambaran identitas dan perilaku individu di mana setiap individu adalah pusat dari tindakan pendampingan pastoral atau dalam wiyon-wofle disebut dengan istilah watum.

D. Interpretasi Psikologi dalam inisiasi wiyon-wofle.

Kelihatannya para theolog wiyon-wofle sudah lama mengembangkan interpretasi psikologi dari sudut pandang psikoanalisis, yang lebih banyak didasarkan pada pengalaman hidup. Kebanyakan dari mereka mengembangkan relasi ego, super ego dan id, dengan unsur-unsur yang disebut sebagai ‘self’. ‘Self’ di sini berbeda dari ego. Menurut Spicer, self menunjuk pada personalitas seseorang yang ditentukan oleh kemampuan inisiatif, kontrol dan proteksi; sedangkan ego dalam teori Freud lebih menekankan aspek representasi atau pandangan (self-image).

Pentingnya ‘self’ dalam pendampingan pastoral dilihat sebagai relasi akrab. Sebagaimana yang dilakukan oleh kristen dengan proses pendampingan pastoral kepada Sepasang suami-istri yang akan menikah karena mereka berusaha mengembangkan ‘self-representation’-nya untuk membangun apa yang disebut pernikahan sebagai suatu sistem pertukaran dalam hal saling mensuport satu sama lain. Dalam kaitan itu, suami-istri tadi mengembangkan apa yang disebut ‘relasi oedipal’ (hubungan sekompleks/selingkungan), termasuk relasi seksual oedipal, artinya yang berlangsung antara dua orang yang tinggal serumah. Dalam ‘relasi oedipal’ ini sikap saling menerima satu terhadap lain biasa bertumbuh dalam bentuk cinta. Di sisi lain, ‘relasi oedipal’ juga ada dalam sifat penolakan (rejection) antara kedua pasangan tadi. Biasanya dalam hubungan seksual, penolakan dalam ‘relasi oedipal’ terjadi misalnya antara anak dan ibunya, atau anak dengan ayahnya. Penolakan ini terjadi karena ‘self’ membentuk kesadaran baru dalam ego. Hal semacam ini telah lama dikembangkan dalam teologi wiyon-wofle oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua.

E. Interpretasi inisiasi wiyon-wofle sebagai Teologi-Etis

Interpretasi inisiasi wiyon-wofle sebagai teologi-etis didasarkan pada praktek persembahan korban (offerings), yang dilakukan dalam aktivitas wiyon-wofle (mber wiyon-wofle), sebagai dasar dari perspektif relasi suatu kehidupan yang serasi. Melalui relasi itu, orang Maybrat, Imian, Sawiat, akhirnya memahami akan makna hubungan relasi yang utuh dalam relasi kasih antara Allah (Oron yabi – Wiyon sohoro) dengan setiap manusia, siapa pun mereka. Sebagai sebuah relasi yang dilakukan pada upacara ritus yang disebut maut shafla, hal itu didasarkan pada dorongan-dorongan kesadaran dari dalam diri setiap orang, baik untuk saling mengasihi maupun berkorban satu sama lain.

Hal yang serupa dalam penginjilan kristen yang mana kristen dengan jelas melandaskannya pada kitab injil 1 Kor.13:12-13, suatu dimensi biblikal dari perlunya manusia saling menerima satu terhadap lainnya sebagai sesama, dan saling berjumpa dalam berbagi bentuk dalam hidup, ibarat kita menatap wajah didepan cermin dan berkaca darinya/melihat dirinya.

Di sisi lain, ekaristi kristen merasa bahwa menyelamatkan suatu perkawinan ‘tidaklah terlalu penting’, sebab kita tidak bisa menentukan seperti apakah perkawinan itu. Jauh lebih penting adalah bagaimana pasangan suami-istri itu mengalami pertumbuhan personalitasnya untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam hidup berpasangan atau keluarganya. Ini bukanlah sebuah persoalan teologis etis semata, tetapi juga seksual, dan hubungan interpersonal. Karena itu, kristen sangat menegaskan pentingnya sepasang suami istri membangun relasi dengan dirinya, gereja dan juga masyarakat.

Melalui interpretasi teologi-etis, kita berusaha untuk membangun apa yang disebut ‘the good’ (kebaikan umum) dalam relasi interpersonal – termasuk antara pasangan suami-istri. Pentingnya aspek moral-etik juga ditekankan Steward Hiltner yang merujuk pada kristen. Hiltner menggunakan istilah pastoral counseling (1949) yang menyatakan bahwa faktor moralisme adalah hal yang penting dalam pendampingan pastoral. Dalam konseling, demikian Hiltner, persoalan moral penting dipahami sampai pada aspek-aspek gangguan (disartours). Dalam kaitan itu, menurut Hiltner, konseling pastoral bisa dilihat sebagai suatu proses edukatif, baik konseling maupun pre-konseling.

Sejalan dengan Hiltner, Howard Clinebell, yang mengembankan ‘revised model’, melihat pentingnya ‘client centered; sebagai suatu orientasi dalam mengembangkan konseling edukatifnya. Pendekatan konseling pastoral Clinebell itu ditempuh dengan memperhatikan tahapan ‘supportive, reality-confronting, future oriented, information-giving, positive, dan aksi. Dalam bukunya Basic Types of Pastoral Counseling (1966), Clinebell juga mengembangkan suatu argumen untuk memperkenalkan perhatian etika secara langsung dalam konseling. Ia mengakui peran konfrontasi moral dalam konseling.

Dalam penerapan dimensi etika dalam konseling pastoral, Browning lalu membagi lima level praktik ‘moral thinking’, yakni: (a) methaporical level, mengandung berbagai langkah simbolik dan metaforis yang digunakan untuk menerangkan konteks pengalaman yang ultima; (b) obligation level, menekankan pada jawaban terhadap berbagai perbedaan standard moral dalam masyarakat; (c) a tendency-need level, terfokus pada pertanyaan dan jawaban mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan nilai apa yang mereka dapati darinya; (d) a contextual-predictive level, fokus pada trend-trend khusus dalam sosiologi, psikologi, dan kebudayaan yang membentuk perilaku atau tindakan seseorang, dan (e) a rule-role level, yang menekankan pada proses komunikasi untuk membangun suatu visi, kewajiban dan kemungkinan harapan ke arah yang lebih tinggi.

Di dalam teologi pastoral, baik wiyon-wofle dan kristen, sama-sama bersepakat untuk menggunakan kelima level ini yang mana dikembangkan secara integratif dengan melihat pada bagaimana aspek-aspek dasar diteliti dan dikenali dalam rangka praktek konseling pastoral.

Hal ini yang dimaksud dengan pastoral sosial; yakni pendampingan pastoral kepada warga dalam rangka perannya di dalam masyarakat. Pendampingan pastoral di sini sangat terkait dengan masalah-masalah sosial, tidak hanya masalah iman. Hal ini memperlihatkan bagaimana sumbangan etika dalam praktek pendampingan pastoral. Karena itu pendampingan pastoral kepada setiap orang melalui watum seperti (finya migiar) dalam orientasi wiyon-wofle atau pendampingan pastoral terhadap pasangan suami-istri oleh gereja tidak dilakukan karena ada masalah tertentu (case oriented) melainkan karena diri/personalitas pasangan suami-istri itu.

About this entry

Posting Komentar


 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2008